Twitter

Archive for Desember 2012

PENDAHULUAN

Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga
merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.Bila saat ini kaum
muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam
membentuk kesholehan pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap
kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan
sosial.Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas,kalau saja kaum muslimin
memahami tentang hal tersebut.Pemahaman sholat sudah merata dikalangan kaum
muslimin ,namun belum demikian terhadap zakat.

Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam,ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan
disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan
dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah
Allah ini.Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahzhah
individu kaum muslimin.Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang
dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah,zakat menjadi sebuah ajaran yang
sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung politik,ekonomi,ilmu,dan
peradaban manusia.

Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat
Islam diberbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang
mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam
memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan
ekonomi di dunia barat khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah
menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan ini seperti;kesenjangan dalam
kehidupan sosial ekonomi.

Tidak terkecuali Indonesia juga mengalami booming ekonomi,namun sekarang
hancur lebur.Akibat dari itu mengakibatkan multi krisis yang berkepanjangan hingga
hari ini.Pemerintah tidak mampu menggerakkan ekonomi makro dan ekonomi mikro
alhamdulillah masih berjalan walaupun tidak seperti masa tak krisis dulu.

Disaat krisis seperti ini masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya
melalui zakat,infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya
yang lain,baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain. Melihat potensi dana masyarakat yang disalurkan dalam wujud ZIS ini,maka pemerintah melalui Depag dan Depkes memobilisir dana- dana sosial keagamaan dalam rangka membantu ibu dan anak yang rawan terkena penyakit.

DEFINISI ZAKAT

Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang
membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang
banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan
mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan
Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore :

Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya
Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran".

Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau
kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu
tertentu.

Keterangan definisi : Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat adalah
kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut
terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka
memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok tertentu
adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk mengeluarkan zakat
adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas, perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat fitrah.

LANDASAN KEWAJIBAN ZAKAT

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal
tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-
ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan
penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan
cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya.

Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi sebagai
alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa
dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah swt.
Disamping itu kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah
swt yang tidak dapat diwariskan.

Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.

AL QUR'AN

Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan
ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".

Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka
karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan
tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan
zakatnya)".
SUNNAH

Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan
haji dan puasa Ramadhan".

Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah
mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan
batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan
kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-
orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan
keras dan mengadzab mereka dengan pedih".

JIMA

Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban
zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.

PERBEDAAN ANTARA ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH

Dalam penjelasan tentang makna terminologis dari zakat, kita telah mengetahui
bahwa zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi
tertentu dan waktu tertentu. Adapun infak yaitu mengeluarkan harta yang mencakup
zakat dan non zakat.

Infak ada yang wajib ada yang sunnah. Infak wajib diantaranya kafarat, nadzar, zakat dll. Infak sunnah diantaranya infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak
bencana alam dll.

Adapun shodaqoh maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shodaqoh dapat
bermakna infak, zakat dan kebaikan non materi. Dalam hadist riwayat Muslim,
Rasulullah saw memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap
orang kaya yang banyak bershodaqoh dengan hartanya, beliau bersabda:

"Setiap tasbih adalah shodaqoh, setiap takbir shodaqoh, setiap tahmid shodaqoh,
setiap tahlil shodaqoh, amar ma'ruf shodaqoh, nahi munkar shodaqoh dan
menyalurkan syahwatnya pada istri juga shodaqoh".

Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu Allah
swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang
yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan orang
yang mendustakan. Disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-10 artinya: "Adapun orang
yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami menyiapkan baginya (jalan) yang
sukar".

SYARAT HARTA YANG WAJIB DIZAKATI

Harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

Harta yang Halal dan Baik

Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqaraah ayat 267, artinya: "Wahai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Disebutkan dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah
tidak menerima zakat dari harta yang tidak sah"

Harta Produktif (Nama')

Harta produktif adalah harta yang berkembang baik secara konkrit atau tidak. Secara
konkrit dengan melalui pengembangan usaha, perdagangan, saham dll. Melalui tangan
sendiri atau orang lain. Sedangkan tidak konkrit yaitu harta tersebut berpotensi untuk
berkembang. Hal ini sesuai makna zakat itu sendiri yang berarti berkembang.

Harta yang tidak berkembang dan tidak berpotensi untuk dikembangkan tidak wajib
dikenai zakat, sesuai dengan hadist Rasulullah saw riwayat Muslim: Artinya:
"Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya".

Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya

Pada hakekatnya kepemilikan mutlak pada harta adalah Allah swt, tetapi Allah swt
memberikan hak kepemilikan harta kepada manusia secara terbatas. Harta yang
dimiliki manusia secara penuh maksudnya bahwa manusia ia berkuasa memiliki dan
memanfaatkannya secara penuh. Pemilikan dan pemanfaatan harta harus sesuai
dengan aturan-aturan Islam.

Mencapai Nishab (Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkenak kewajiban zakat. Karena
ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih
masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan
mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam
waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR
Bukhari, mualaq dan Ahmad, mausul)

Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas dari Hutang
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya
harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta
penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak
terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat
dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta
melebihi nishabnya.

Ulama madzhab Hanafi menentukan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang bersih setelah dikurangi kebutuhan rutin. Alasan ini cukup kuat, karena
zakat diwajibkan bagi orang kaya sesuai hadist, "tidak wajib bayar zakat kecuali
orang kaya". Manakala pendapatan seseorang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan harian diri dan keluarganya berarti dia tidak termasuk orang kaya, kecuali
jika setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi masih memiliki kelebihan yang
mencapai nishab, berarti ia wajib bayar zakat. Hal ini juga dikuatkan oleh ayat Al-
Qur'an surat Al-Baqaraah 219, artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah "Yang lebih dari keperluan". Menurut Ibnu Abbas
'sesuatu yang lebih' adalah 'sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga'.

Zakat juga hanya dikenakan jika terbebas dari hutang. Karena hutang merupakan
beban yang harus ditunaikan. Walaupun seseorang memiliki banyak kekayaan tetapi
jika memiliki banyak hutang maka tidak termasuk orang kaya yang harus membayar
zakat, apalagi jika hutangnya lebih besar dari kekayaan. Dan dalam Islam, seseorang
yang memiliki banyak hutang disebut ghariim yang berhak menerima zakat. Jika
melihat fenomena sekarang dimana mayoritas manusia memiliki hutang, maka
terdapat pendapat yang baik dana patut dipertimbangkan, yaitu hutang yang terbebas
dari zakat adalah hutang yang jatuh tempo.

Haul (Sudah Berlalu Setahun)
Disebutkan dalam hadist riwayat Abu Dawud: Artinya: "Tidak wajib membayar zakat
sampai sudah berlalu satu tahun"

Ulama tabi'in dan fuqoha sepakat tentang ketentuan haul pada beberapa harta yang
wajib dizakati seperti emas, perak, perdagangan, hewan dll. Dan haul tidak berlaku
pada zakat pertanian, rikaz, barang tambang dll. Untuk hasil pertanian disebutkan
dalam surat Al An'aam aya 141, artinya: "Dan tunaikanlah haknya dihari memetik
hasilmu (dengan dikeluarkan zakatnya)".


MACAM-MACAM HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Dalam buku-buku Fiqh, harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam yaitu
Zakat Harta dan Zakat Fitrah. Kemudian Zakat Harta dibagi lagi menjadi beberapa
sub bagian sbb.:

Zakat Emas, Perak dan Perhiasan
Zakat Hewan dan Produk Hewani
Zakat Pertanian dan Hasil Bumi
Zakat Barang Perdagangan
Zakat Rikaz dan Barang Tambang

ZAKAT DAN PAJAK
Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga
konsekwensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran
zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau
sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib
yang memiliki karakteristik berbeda.

Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, tetapi disisi
lain banyak juga perbedaannya.

Persamaan antara Zakat dan Pajak:

Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya
terkena sanksi. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi
penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan
pajak dikelola oleh negara.
Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem
ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.

Perbedaan antara Zakat dan Pajak
Perbedaan Zakat Pajak Keterangan
Nama Berarti bersih, bertambah dan berkembang Utang, pajak, upeti Seseorang yang
membayar zakat hartanya menjadi bersih dan berkah tidak demikian dengan pajak
Dasar Hukum Al Qur'an dan As Sunnah Undang-undang suatu negara Pembayaran
zakat bernilai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah sedangkan dalam membayar
pajak hanya melaksanakan kewajiban warga negara
Nishab dan Tarif Ditentukan Allah dan bersifat mutlak Ditentukan oleh negara dan
yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-
ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus Kewajiban sesuai dengan kebutuhan
dan dapat dihapuskan
Subyek Muslim Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima Tetap 8 Golongan Untuk dana pembangunan dan anggaran
rutin
Harta yang Dikenakan Harta produktif Semua Harta
Syarat Ijab Kabul Disyaratkan Tidak Disyaratkan
Imbalan Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta Tersedianya barang dan jasa
publik
Sanksi Dari Allah dan pemerintah Islam Dari Negara
Motivasi Pembayaran Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan
pada negara dan sanksinya ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi
besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantuan Selalu
menggunakan jasa akuntan pajak


PEMBAYARAN PAJAK
Pembayaran pajak dapat dibenarkan dalam Syari'at Islam karena memiliki beberapa
konsideran:

Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia
merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
Sasaran zakat terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak
boleh mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah
layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta
kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kamu muslimin, sedangkan harta zakat
diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama
berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan,
membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan bendungan". Kaidah-kaidah Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk
melegalisasi pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala kaitannya.
Kerugian dibayar dengan keuntungan.

Ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat
pembangunan dan keamanan. Agar pembayaran pajak dan zakat dapat berjalan
dengan baik maka perlu adanya sinkronisasi pembayaran keduanya. Misalnya ketika
seseorang sudah membayar zakat, maka beban pembayaran pajaknya dikurangi
sebesar zakat yang telah dikeluarkan agar tidak terjadi kedholiman pada wajib zakat
atau wajib pajak.

Selanjutnya ulama modern memasukkan atau menganalogikan beberapa bentuk zakat
yang belum dikenal pada saat itu. Diantara bentuk zakat yang popular sekarang
adalah: Zakat Uang, Zakat Profesi, Zakat Investasi dan Saham, Zakat Hadiah, Zakat
Perusahaan dll. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pokok-pokok zakat
yang sudah disepakati ulama, kemudian memasukkan atau menganalogikan bentuk-
bentuk zakat yang popular dimasa sekarang dengan bentuk zakat yang sudah baku dan
disepakati ulama, di dalam UU Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g dinyatakan
bahwa zakat yang dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas
terkait) dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.

Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syari'ah di atas yang
selanjutnya dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan
yang kena zakat adalah 100 juta, maka zakatnya adalah 2,5 juta, kemudian nilai
tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak

UU PENGELOLAAN ZAKAT DAN UU PAJAK
Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukan dalam UU
pengelolaan zakat Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11

ayat (1) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.

Pada ayat (2) dikemukan bahwa harta yang dikenai adalah :

Emas, perak dan uang
Perdagangan dan perusahaan
Hasil Pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan
Hasil pertambangan
Hasil Perternakan
Hasil pendapatan dan jasa
Rikaz

Ayat (3) Penghitungan zakat maal menurut nishab, kadar, dan waktu ditetapkan
berdasarkan hukum agama (Syariat Islam)

Dalam Undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 2000 dikemukan dalam pasal 9 ayat
(1) bahwa untuk dalam undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 200 dikemukan
dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk: g. Harta yang dihibahkan bantuan atau
sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas
menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi
pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar
sesuai dengan ketentuan syari'ah seperti di atas. kemudian nilai tersebut dikurangi atas
penghasilan kena pajak. Karena itu, Agar perhitungan tersebut sesuai dengan syari'ah
Islam Perlu ada peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya.

Manfaat zakat dalam penyelesaian krisis :

Manfaat Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Dalam berbagai kesempatan seringkali dibicarakan tentang beberapa kisah yang
terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah
tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi
sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di
bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah ini
dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur'an
yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.

Kita terbang lima belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw
berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar
menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman
al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh,
berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis
perjuangan Islam.

Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika
melihat orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan
kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, "Kami mengusulkan kepada Anda agar
Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal
kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu.
Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami
datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah
selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka Anda."

Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, "Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia
menyindir bau jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis
khusus bagi kami sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis
bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami."

Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An'am [6] ayat 52: "Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu
(berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim."
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut
mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. "Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan
keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.

Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28: "Dan bersabarlah kamu bersama-
sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."

Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak
meninggalkan tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke
majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali beliau berkata,
"Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku
diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku.
Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat.
Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang
ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya
tengah diperiksa amalnya."

Sekarang bukalah cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam
cermin itu. Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh
orang miskin. Apabila tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara,
dipinggirkan. Kota baru gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah
bila rumah-rumah kumuh digusur. Ah...betapa perilaku kita lebih menyerupai
pembesar quraisy daripada perilaku Nabi Yang Mulia.

Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang
memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya,
"mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?" Sa'ad menjawab, "tangan ini
kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku." Nabi yang mulia berkata, "ini
tangan yang dicintai Allah," seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh
itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para
sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.

Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang
hitam dan melepuh menunggu uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di
antara kita yang mau mencium tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang
kita miliki, gelar akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita
merasa jauh lebih pantas bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa
berat, andaikata kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa
meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan
dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah
kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai rasa
sayang kita pada mereka.

Di atas kita telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai
ummatnya kita telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh
teladan (uswatun hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita buka Al-Qur'an. Bukankah Al-Qur'an adalah rujukan kita
yang pertama dalam hidup ini.

Surat al-Balad [90] ayat 10 -18
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya
(denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu
apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,
atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada
hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-
orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan
kanan"

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam
memanfaatkan harta kita. Al-Qur'an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang
sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim
atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan
memberi contoh jalan yang sukar.

Mengapa disebut jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia enggan atau merasa
berat atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa
berat dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita
termasuk golongan yang kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi.
Apakah kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya
cermin hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.

Surat al-Ma'arij [70] ayat 19-25
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia
ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi
orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta)"

Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat
bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat
baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita
tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak
harta kita cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh
kesah & kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.

Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang
secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung
bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu
memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki.

Sekali lagi, bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita untuk sejenak. Tidakkah kita
rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk kita dalam ayat-ayat-Nya yang
suci. Subhanallah....
Surat al-Qalam [68] ayat 17-33
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami
telahmenguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa
merekasungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak
mengucapkan :insya Allah

Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang
tidur,maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka
panggilmemanggil di pagi hari

"Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya."

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. "Pada hari ini janganlah ada
seorangMISKINpun masuk ke dalam kebunmu." Dan berangkatlah mereka di pagi
hari dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu
(meonolongnya), Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya
kita benar-benaroarng-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari
memperoleh hasilnya)"

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku
telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"

Mereka mengucapkan: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-
orangyang zalim."

Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela
Merekaberkata: "Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang
yangmelampaui batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita
dengan(kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan
ampunan dariTuhan kita"

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika
merekamengetahui"


Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum masa
Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan sangat baik betapa harta
manusia itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah. Kebun yang sudah sekian lama
diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik hasilnya menjadi musnah terbakar.
Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga mendapat azab sedemikian rupa?

Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan
dalamayat di atas ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti
akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu
apa yang terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu "skenario" Allah terhadap diri kita.

Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa
masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan
azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih
besar lagi!

Cermin hati kita mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab Allah di dunia,
manakala kita memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan untuk memberi
sebagian pada orang miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah kita melaksanakan
kata-hati kita?

Kalau Allah mampu memusnahkan dengan amat mudah kebun yang siap dipanen,
jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan sumber penghasilan kita, bila kita
berlaku kikir! Na'udzu billah...

Demikianlah sekedar pengantar untuk pengajian kita; sekedar saling ingat
mengingatkan bahwa di cermin hati kita telah tergambar sejumlah orang yang
membutuhkan kepedulian kita. Persoalannya, maukah kita melihat ke dalam cermin
tersebut?

Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya.
Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah
pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan
penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu.
Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam
pemilikan.

Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat.
Dalam sebuah hadits dikatakan : "Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain
zakat". Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi
penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW:
"Zakat adalah bukti (penyerahan)".

Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain:
Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta.
Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini.
Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat.
Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan
mengakibatkan semakin menipisnya modal.

Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia
akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa
tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis
seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila
ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan,
bukan dari itu sendiri.

Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan
ini pula kita dapat memahami firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs. At Taubah:34)"
Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar
zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW
bersabda: "Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan".

Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal,
sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di
dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan
keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung
kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal
berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung
kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang
persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak
dengan sistem Islam di pihak lain.

Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui semua institusi
yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut
Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas
kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan
sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian.

Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari
keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan demikian, 'kelebihan nilai'
yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali
dalam jumlah kecil yang menjadi haknya. Selebihnya akan kembali kepada berbagai
tingkatan masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan
Sosial yang merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).

Peran Amilin (Pengelola) Zakat
Zakat bukan persoalan baru. Tetapi, pada waktu yang sama, persoalan tersebut tetap
hangat karena senantiasa dibahas dan seolah tak pernah habis dan selesai. Salah satu
ciri atau sifat ilmu Islam memang demikian, selalu memberi nuansa baru untuk dikaji
dan ditelaah. Zakat adalah sebuah persoalan faridhah sulthaniyah, yaitu suatu
kewajiban yang terkait dengan kekuasaan. Karena itu, pelaksanaannya dilakukan oleh
amilin 'alaiha (petugas-petugas zakat, QS. 9; 60). Dan amilin, walaupun ada aturan
tersendiri dalam masyarakat, surat keputusan asalnya ada dalam Al-Qur'an dan
merupakan bagian organik dari Undang-undang Islam secara keseluruhan.

Para amilin pertama-tama berfungsi sebagai pengemban amanah Allah SWT,
kemudian ia mewakili Rasulullah SAW sebagai iqamatud dien wa siyasah fid dunya
para umara setelah rasulullah, yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di
dunia. Zakat tentu saja merupakan salah satu tiang dari tiang-tiang agama. Jadi kedua,
amilin mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat ini. Dalam
hal ini , mereka bertindak sebagai niyabur Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam
iqamatud dien. Dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan tersebut. Dari sisi ini, kita
dapat melihat betapa pentingnya posisi amilin.

Apa yang perlu dilengkapi atau dimiliki oleh para amilin? Surat at-Taubah ayat 103
secara mendasar menyebutkan hal apa saja yang perlu diperhatikan para amilin zakat.
Allah berfirman, "Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat)." Dari kata-kata ini
dapat ditarik kesimpulan adanya al-mubadarah (inisiatif), manajemen, yang berarti amil tidak sekedar menunggu saja datangnya zakat tersebut. Tetapi amilin harus
memperlihatkan sikap "Khudz" (ambil) yang dituangkan dalam bentuk sistem
perencanaan, strategi dan pengelolaan yang baik. Walaupun otoritas sepenuhnya
belum dimiliki (karena otoritas sesungguhnya ada di tangan daulah). Namun inisiatif
harus dilakukan.

Dalam rangka inisiatif juga, para amilin membantu para muzakki untuk dapat dengan
benar menunaikan zakatnya. Karenanya, para ulama membagi amwal (harta) itu ke
dalam dua jenis, yaitu yang tampak atau ditampakkan (zhahir) dan yang tidak tampak
(bathin). Harta yang zhahir, misalnya binatang ternak dan tijarah (perdagangan).
Binatang ternak dapat dihitung dan tijarah dapat di tampakkan dengan Ilmu akuntansi.
Para amilin berkewajiban membantu penghitungan ini. Jadi, tidak hanya percaya saja.
Bahkan, kalau perlu mereka membantu membuat teknik penghitungannya
(akuntansinya).

Adapun untuk amal yang bathinah, zakatnya diserahkan kepada muzakki, artinya
amilin percaya kepadanya tentang seberapa besar hitungan hartanya. Karena agak
sukar untuk melacaknya, terutama dalam keterbatasan otoritas amilin. Keterbatasan
amilin memang cukup menyulitkan. Ia tidak bisa bertanya atau menyelidiki seberapa
jauh kebenaran pembukuan yang dilaporkan muzakki. Untuk kondisi sekarang, sang
muzakki mau menyerahkan zakatnya saja seolah-olah sudah merupakan penghargaan,
karena kepercayaannya. Meskipun demikian, agaknya bertanya tentang kesulitan-
kesulitan yang dihadapi muzakki dalam penghitungan zakatnya, sudah merupakan
bentuk mas'uliyah amilin. Mas'uliyah amilin dalam bentuk pengenaan sanksi bagi
muzakki yang secara sengaja menggelapkan hartanya, tampaknya belum saatnya
menjadi otoritas yang dimiliki amilin saat ini.

Dalam kaitan bunyi ayat "tuthahirhum" (agar dapat membersihkan harta mereka), para
amilin membantu muzakki untuk membersihkan harta mereka dari penyakit ruhiyah.
Hal ini bisa dilakukan dengan taujih (pengarahan). "Watuzakkihim biha" di sini
bermakna pengembangan (tanmiyah) berupa pengembangan harta atau kepribadian
muzakki sendiri. Misalkan diusahakan bagaimana zakat ini dapat menyebabkan
pengembangan harta (tanmiyatul maal). Para ulama sepakat bahwa proteksi zakat itu
pada hakikatnya adalah pengentasan kemiskinan. Untuk sementara, boleh saja
digunakan untuk saluran-saluran konsumtif. Namun tidak boleh terus menerus. Oleh
karena itu, meskipun berlangsung penggunaan konsumtif, upaya-upaya yang
mengarah pada penggunaan usaha-usaha produktif serta pengembangan
pemberdayaan perlu direncanakan secara baik.

Amilin (pengelola) harus mempunyai proyeksi jangka panjang. Misalkan ada
seseorang yang sebenarnya berhak menerima zakat, padahal saat itu tampak dapat
mengendalikan keperluannya sekadarnya. Maka, dapat ditanyakan kepadanya apakah
bagian zakatnya dapat dimasukkan ke dalam sektor produktif, misalnya dalam bentuk
saham. Dengan Kumpulan saham dari harta zakat para mustahiq ini mungkin dapat
diupayakan sebuah usaha yang menguntungkan. Dengan upaya ini diharapkan terjadi
pengembangan harta dari para mustahiq, sehingga pada saatnya dia dapat menjadi
muzakki. Semua ini perlu perencanaan.

Hal lain yang perlu dilakukan amilin adalah mendo'akan para muzakki baik yang
sifatnya rutin harian, bulanan dan tahunan melalui ucapan selamat ulang tahun, hadiah dan sebagainya, sehingga mereka merasa puas dan senang dengan pekerjaan itu.
Amilin yang hanya menerima begitu saja akan mengurangi kesakralan momen
pemberian zakat, padahal di sana terdapat sebuah peristiwa yang cukup tinggi
nilainya. Seseorang yang berada pada kecukupan tenaga berupaya memikirkan
pertolongan bagi saudara-saudaranya yang berada dalam kesulitan ekonomi.

Mengupayakan inventarisasi mustahiq merupakan langkah lain yang perlu
diperhatikan para amilin. Sebab, terdapat suatu kenyataan adanya fuqara yang tidak
menampakkan kesulitannya atau meminta-minta karena sifat 'iffah (menjaga diri)-nya.
Sebagaimana digambarkan dalam ayat 273 surat Al-Baqarah: "(Berinfaqlah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat
berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena
memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. "Dan harta apa saja yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.'

Amilin perlu pengenalan lebih jauh terhadap fuqara atau masakin. Jika ada orang
yang berhak dan ternyata dia tidak kebagian zakat, maka hal ini menjadi tanggung
jawab amilin karena kurang perhatian. Fuqara yang 'iffah, tidak mungkin
mendaftarkan diri kepada amilin untuk dimasukkan sebagai mustahiq. Pengalaman
dibeberapa tempat, ketika perencanaan atau manajemen zakat (fitrah) tidak ditangani
secara baik akan berdampak negatif. Keterbatasan waktu pembagian menyebabkan
amilin akhirnya bekerja secara tergesa-gesa, karena adanya "dead line" pembagian
zakat fitrah. Apabila ini terjadi, dapat berakibat kurang selektif dalam pemilihan
mustahiq. Yang penting habis terbagi saja. Amilin yang demikian tidak dapat
menunaikan tugas sebagaimana mestinya.

Inventarisasi mustahiqin perlu dilakukan sedini mungkin. Bahkan, jika mungkin peta
mustahiqin itu sudah dimiliki sejak lama sebelumnya. Hal ini jelas membantu
keefektifan pembagian zakat. Efektivitas pembagian zakat dengan demikian sangat
ditentukan oleh kemampuan amilin. Tentu tidak diharapkan zakat hanya sebagai suatu
rutinitas tanpa disertai perubahan-perubahan dalam tubuh masyarakat. Evaluasi
pelaksanaan zakat perlu dilakukan tahun demi tahun, sehingga pelaksanaan tahun ini
bisa lebih baik dari pelaksanaan tahun lalu. Kalau terjadi penurunan, maka amilin
tidak berfikir maju dan zakat akan sulit menjadi sebuah pemecahaan bagi masalah-
masalah ekonomi dalam masyarakat Islam.

Amwalu zakat (harta-harta zakat), pada saat ini memang sudah berkembang
sedemikian rupa. Zakat peternakan atau pertanian, misalnya, sudah hampir tidak
dikenal lagi di daerah perkotaan yang padat dan kumuh. Amwalu zakat yang akan
banyak ditemui di daerah ini adalah zakat kasbul amal (penghasilan) atau tijarah
(perdagangan). Amilin perlu menjelaskan tentang hakekat nishab (batas minimal harta
yang dimiliki untuk terkena kewajiban mengeluarkan zakat). Hakekat nisab adalah
kelebihan seseorang dari hajat asasiyah (kebutuhan dasar) nya. Di sini, sesungguhnya
akan berlaku peran ketaqwaan, karena kebutuhan dasar seseorang bisa beragam
sekali. Jika seseorang kecenderungan konsumtifnya besar, maka angka kebutuhan
dasarnya pun akan besar.

Dan mungkin akan ada orang yang tidak pernah sempat mengeluarkan zakat, karena
kebutuhannya yang senantiasa besar dan terus kekurangan, misalnya untuk perumahan, mobil, dan sebagainya. Utang cicilan untuk masa sekarang misalnya
sangat banyak ragamnya, yaitu rumah, mobil, alat-alat rumah tangga, dan sebagainya.
Maka hal yang terpenting adalah bagaimana upaya menumbuhkan ketaqwaan
seseorang sehingga yang dibangkitkan adalah semangat untuk berzakatnya. Bukan
pada persoalan hitung menghitung yang dapat mengaburkan niat buruk seseorang dan
kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, tuntunan perhitungan zakat perlu
diserahkan sehingga tidak membawa kepada muzakki terjebak pada pola hidup yang
konsumtif.

Pembatasan-pembatasan perlu dilaksanakan. Keperluan perumahan yang diambil
secara cicilan, rumah model manakah yang bisa ditolerir? Apakah model rumah
sangat sederhana, sederhana atau rumah besar yang mewah? Kendaran, misalnya
kendaraan merk apa dan berapa harganya yang boleh ia cicil dan layak dianggap
sebagai kebutuhan pokok? Demikian juga untuk biaya pendidikan, kesehatan dan
pengobatan. Pengarahan-pengarahan perlu dilakukan oleh seorang amilin


MUAMALAH
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian 1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas 2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubngan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal; 1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
1.Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya. Meliputi:
al Ba’i (jual beli)
Syirkah (perkongsian)
al Mudharabah (Kerjasama)
Rahn (gadai)
kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
utang piutang
Sewa menyewa
hiwalah (pemindahan utang)
sewa menyewa (ijarah)
upah
syuf’ah (gugatan)
Qiradh (memberi modal)
Ji’alah (sayembara)
Ariyah (pinjam meminjam)
Wadi’ah (titipan)
Musaraqah
Muzara’ah dan mukhabarah
Pinjam meminjam
Riba
Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
ihyaulmawat
wakalah
NB :Salah satu buku yang cukup lengkap membahas tentang Fiqh Muamalah tersebut dan juga harganya terjangkau adalah buku karya Prof. DR. H. Rachmat Syafi’ie, MA. dengan judul Fiqh Muamalah. Cukup bagus untuk memulai memahami fiqh muamalah
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian 1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas 2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubngan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal; 1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
1.Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya. Meliputi:
al Ba’i (jual beli)
Syirkah (perkongsian)
al Mudharabah (Kerjasama)
Rahn (gadai)
kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
utang piutang
Sewa menyewa
hiwalah (pemindahan utang)
sewa menyewa (ijarah)
upah
syuf’ah (gugatan)
Qiradh (memberi modal)
Ji’alah (sayembara)
Ariyah (pinjam meminjam)
Wadi’ah (titipan)
Musaraqah
Muzara’ah dan mukhabarah
Pinjam meminjam
Riba
Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
ihyaulmawat
wakalah
NB :Salah satu buku yang cukup lengkap membahas tentang Fiqh Muamalah tersebut dan juga harganya terjangkau adalah buku karya Prof. DR. H. Rachmat Syafi’ie, MA. dengan judul Fiqh Muamalah. Cukup bagus untuk memulai memahami fiqh muamalah
JUAL BELI
Pengertian
Etimologi : Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain
Terminologi:
menurut ulama hanafiyah : pertukaran harta dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
Dasar Syara’ :
Q.S. Al Baqarah ayat 275
Q.S. An Nisa’ ayat 29
Rukun Jual Beli:
1. Penjual
2. Pembeli
3. Sighat (ijab Qabul)(nb: perlu pemahaman ulang sebagaimana yang dibahas oleh ulama kontemporer)
4. Ma’qud ‘alaih (objek yang diperjualbelikan)
Syarat Jual Beli:
Meliputi; Syarat para pelaku(orang yang berakad), Syarat dalam akad,Syarat tempat akad, Syarat Ma’qud ‘Alaih, syarat sahnya akad.
Jual beli Terlarang
Diantara bentuk jual beli yang terlarang :
1. Jual beli yang jelas dilarang
- barang najis, sperti khamr, bangkai, babi, patung(mengenai patung, pada zaman ini ada perbedaan pendapat)
- Barang yang tidak najis seperti ASI (Imam hanafi melarang sementara Imam malik dan Syafi’ie membolehkan, tapi dalam hal ini perlu diingat pula mengenai status hukum anak sepersusuan atau radha’ah)
2. Dilarang karena Riba
3. Dilarang karena samar-samar
Kesamaran dapat terjadi pada barangnya, besarnya harga, masa pembayarannya atau kesamaran penyerahan barang yang diperjualbelikan. Misalnya:
- Jual beli yang belum terjadi seperti buah-buahan yang belum tampak baiknya.
- jual beli anak hewan dalam kandungan induknya
- air susu binatang yang masih dalam teteknya
- air pejantan binatang
4. Jual beli bersyarat. Misalnya seorang penjual berkata:” Sya menjual baju saya kepadamu, dengan syarat saudara juga menjual milik saudara kepada saya.” jawab pembeli, ” ya saya membeli baju saudara dengan syarat saya menjual baju saya ini kepada suadara.
5. dilarang karena menipu, atau mengganggu gerakan pasar.
6. Dilarang karena dilaksanakan pada waktu ibadah,yaitu shalat jumat berdasarkan Q.S. Al Jumu’ah ayat 9.
7. Dilarang karena digunakan untuk berbuat maksiat, jual beli alat-alat perjudian, patung untuk pemujaan dan alat-alat lain yang membawa kepada kemaksiatan.
عن جابر عبدالله ز ض انه سمع رسولالله صلعم يقولوا عام الفتح وهو بمكة إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والمبتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسولالله اريت شحوم الميتة فإنها يطلى بها السفن ويدهن بها الجلود ويستسبح بها الناس فقال لا هو حرام ثم قال رسولال الله صلعم عند ذلك قاتل الله اليهود إن الله لما حرم شحو مها جملوه ثم باعوه فأكلوا ثمنه (رواه البخارى )
عن عبد الله بن عمر ر ض ان رسو ل الله صلعم نهى عن بيع الثمرى حتى يبدو صلاحها
(رواه البخارى )
عن جابر بن عبد الله ر ض عن النبى صلعم نهى عن بيع الثمرى سنين
(رواه النسائ)
عن أبى سعيد الخدرى قال نهى رسو ل الله صلعم عن شراء ما فى بطون الأنعام حتى تضع و عما فى ضروعها
(رواه ابن ماجه)
اخبرني أبو الزبير انه سمع رسول الله يقول نهى رسو ل الله صلعم عن بيع ضراب الجمل
( رواه المسلم)
نهى رسو ل الله صلعم عن بيع الغرار (رواه البخارى
HUTANG PIUTANG
Rukun :
1. Sighot
2. Orang yang menghutangkan
3. orang yang menghutang
4. Barang yang dihutang
قال النبى صلى الله عليه و سلم :والله فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه ( Dan Allah Akan menolong hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.)
Dan wajib bagi orang yang menghutang untuk mengembalikan yang dihutanngya dan tidak diperbolehkan bagi orang yang menghutangkan untuk mensyaratkan bagi penghutang untuk mengembalikan hutang lebih besar dari nilai yang dihutangnya.
وأحلّ الله البيع و حرّم الربى ( AL Baqarah 275). Akan tetapi jika tambahan saat mengembalikan hutang karena kerelaan orang yang menghutang bukan sebagai syarat dari orang yang menghutangi maka diperbolehkan.
SEWA MENYEWA
Yaitu suatau akad atas manfaat sebagaipengganti yang jelas dengan syarat-syarat tertentu.
Rukun:
- Dua pihak yang berakad( Penyewa dan yang menyewakan)
- Barang yang disewakan (bermanfaat)
Syarat sah;
- kedua belah pihak mengetahui apa yang dibicarakan.
- kedua belah oihak mengetahu barang yang disewakan.
Dan tidak membatalkan akad ijarah seandainya salah satu diantaranya meninggal, posisi berubah pada pewaris.
AL QIRODH
Yaitu pemberian modal dari seseorang kepada orang lain untuk dijadikan modal usaha dan untungya dibagi diantara mereka yang sesuai kesepakatan dari keduanya atau ketiganya dst.
Rukun:
1. Modal Pokok
2. Pemilik harta
3. Pekerja
4. Pekerjaannya
5. Laba
6. Ijab Qobul
Ada sebagian orang yang memiliki harta yang cukup banyak, bisa jadi karena mendapat warisan dan lainnya, akan tetapi dia tidak berkemampuan untuk mengembangkan harta tersebut. Sedangkan disisi lain ada seseorang yang tidak memiliki harta akan tetapi mampu mengembangkan harta. oleh karena itu ISlam membolehkan diantara keduanya unutk saling bekerjasama dengan tolong menolong. Sebagaimana firmaNya dalam surat ALMaidah ayat 2: ” Tolong menlonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
ARIYAH PINJAM MEMINJAM
Yaitu memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain tanpa memiliki barang tersebut.
Rukun:
- Orang yang meminjam
- Orang yang meminjami.
Syarat keduanya berakal dan mukallaf
- Barang yng dipinjamkan
Barangnya bermanfaat dan tidak rusak manfaatnya setelah digunakan.
Ex. Gunting, palu, Cangkul, dll.
- Adil

AL -IJAARAH (Sewa Menyewa)
Yaitu suatau akad atas manfaat sebagaipengganti yang jelas dengan syarat-syarat tertentu.

Rukun:
- Dua pihak yang berakad( Penyewa dan yang menyewakan)
- Barang yang disewakan (bermanfaat)

Syarat sah;
- kedua belah pihak mengetahui apa yang dibicarakan.
- kedua belah oihak mengetahu barang yang disewakan.

Dan tidak membatalkan akad ijarah seandainya salah satu diantaranya meninggal, posisi berubah pada pewaris.[2]
AL ‘ARIYAH (pinjam Meminjam)
Yaitu memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain tanpa memiliki barang tersebut.
Rukun:
- Orang yang meminjam
- Orang yang meminjami.
Syarat keduanya berakal dan mukallaf
- Barang yng dipinjamkan
Barangnya bermanfaat dan tidak rusak manfaatnya setelah digunakan.
Ex. Gunting, palu, Cangkul, dll.
- Adil[3]


AL-BAI’ (JUAL BELI)
A.                Pengertian
Menurut bahasa adalah al tijaroh, dan al-muadalah, sedangkan menurut  istilah adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak yang satu menerima yang satu menjadi penerima sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
B.                 Rukun dan syarat jual-beli
1.    Akad ijab kabul
2.    Orang-orang yang berakad (pemeli dan penjual)
3.    Ma’kud alaih (objek akad)
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pemeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan sebab ijab kaul dilakukanmenunjukkan kerelaan, dan dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mampu, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh dengan surat menyuratyang mengandung arti ija qobul.
C.                 Syarat-syarat sah ijab qobul:
1.    Jangan ada yang memisahkan, pembeli  jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab qoul.
2.    Jangan diselingi kata-kata lain antara ijab dan qobul.
3.    Beragama islam
Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut:
1.    Suci atau disucikan, sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dll
2.    Memberi manfa’at menurut syara’, maka dilarang jual beli barang yang tidak ada manfa’atnya.
3.    Jangan ditaklikkan, yaitu digantungkan, misal jika ayahku pergi kujual motorku ini.
4.    Tidak dibatasi waktunya, misal, kujual motor ini kepada tuan selama satu tahun.
5.    Dapat diserahkan cepat maupun lambat.
6.    Milik sendiri
7.    Diketahui(dilihat)
D.                Macam-macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah dan yang batal karena hukum, dari segi obyek jual beli dan pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang diperjualbelikan yang dikemukakan oleh imam taqiudin jual beli dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jual beli bnda yang kelihatan, jual beli yang sifat-sifatnya di sebutkan dalam janji(pesanan) dan jual beli benda yang tidak kelihatan(jual beli yang dilarang).
PEMINDAHAN HUTANG (HIWALAH)
  1. Pengertian
Menurut bahasa adalah al intiqol dan al tahwil artinya memindahkan atau mengoperkan, sedangkan menurut istilah para ulama’ mendefinisikannya berbeda-beda, seperti pendapat syihab al-din al-qolyubi yang menyatakan bahwa hiwalah adalah akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada orang lain.
  1. Rukun dan syarat hiwalah
Menurut syafi’iyah rukun hiwalah ada empat yaitu:
1.      Muhil yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2.      Muhtal yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil.
3.      Muhal alaih yaitu yang menerima hiwalah.
4.      Sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,”aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada kamu. Dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya.”aku terima hiwalah engkau”[4]
  1. Beban muhil setelah hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat jumhur.

PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.  Pengertian
Menurut bahasa gadai(rahn) berarti al tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.sedangkan menurut istilah adalah  menjadikan hartabenda sebagai jaminan utang, dalam kata lain gadai adalah menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan ituseluruh atau sebagian utang di terima.[5]
B.     Dasar hukum rahn
Firman alloh SWT yang artinya “apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu(al-baqoroh:283)
Diriwayatkan oleh ahmad, bukhari, nasai, dan ibnu majah dari anas r.a ia berkata”rasullulloh saw merungguhkan baju besi kepada seorang yahudidi madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi.”
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa agama islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non muslimdalam bidang muamalah, seorang muslim tetap wajib membayar utang meskipun kepada orang non muslim.
C.   Rukun dan syarat gadai
1.      Akad ijab dan qobul, seperti seseorang berkata”aku gadaikan mejaku ini dengan harga 10.000,00” dan satu lagi menjawab”aku terima gadai mejamu seharga 10.000,00, atau bisa pula dengan kata-kata, surat, isyarat, dll.
2.      Aqoid, yaitu yang menggadaikan(rahin)dan yang menerima gadai(murtahin), adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasawuf yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat yang dijadikan jaminan adalah benda dalam keadaan tidak rusak sebelum janji utang itu dibayar.
4.      Ada utang, disyaratkan keadaan utang tetap.
  1. Pengambilan manfa’at barang gadai
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil sesuatu manfa’at dari barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut imam ahmad, ishak, al-laits, dan al-hasan jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai diatas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan.
  1. Resiko kerusakan marhum
Bila marhum hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya tersebut mrtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bia tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawab murtahin.
  1. Penyelesaian gadai
Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya hak murtahin adalah menjual marhun.pembeline bisa murtahin sendiri atau oranglain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat apabila harga penjualan marhum lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
‘ARIYAH(PINJAMAN)
Ariyah (Pinjaman) yaitu meminjamkan suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma. Para fuqaha’ mendefinisikan ‘ariyah sebagai “pembolehan oleh pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa ganti (imbalan)”.
Ada 2 pengertian ‘ariyah :
1.      ‘Ariyah menurut bahasa diambil dari kata ‘aara yang berarti datang dan pergi. Menurut pendapat lain, ‘ariyah berasal dari kata ta’aawur atau attanaawulu awittanaawubu yang artinya saling menukar dan mengganti yakni dalam hal pinjam meminjam.
2.      ‘Ariyah menurut syara’ ada beberapa pendapat :
- Menurut Hanafiyah : “Pemilikan manfaat secara cuma-cuma”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
- Menurut Malikiyah : “Pemilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
- Menurut Syafi’iyah : “Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 271)
Jadi, yang dimaksud ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu bukan ‘ariyah.
D. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
RUKUN ‘ARIYAH
Secara umum, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada 4, yaitu :
1. Mu’ir (yang meminjamkan)
2. Musta’ir (peminjam)
3. Mu’ar (barang yang dipinjam)
4. Shighat akad (ijab Kabul)


Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian:
1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas
2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Pembagian muamalah:
a.    Mu’awadlah  maliyah (hukum kebendaan)
b.    Munakahat (hukum perkawinan)
c.    Muhasanat(hukum acara)
d.   Amanat dan A’riyah (pinjaman)
e.    Tirkah(harta peninggalan)
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;
1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
2. Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya.
Meliputi:
- al Ba’i (jual beli)
- Syirkah (perkongsian)
- al Mudharabah (Kerjasama)
- Rahn (gadai)
- kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
- utang piutang
- Sewa menyewa
- hiwalah (pemindahan utang)
- sewa menyewa (ijarah)
- upah
- syuf’ah (gugatan)
- Qiradh (memberi modal)
- Ji’alah (sayembara)
- Ariyah (pinjam meminjam)
- Wadi’ah (titipan)
- Musaraqah
- Muzara’ah dan mukhabarah
- Pinjam meminjam
- Riba
- Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
- ihyaulmawat
- wakalah[1]

SYARAT ‘ARIYAH
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sbb :
1. Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang gila dan anak kecil tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut). (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 264)
2. Pemegangan (wewenang) barang oleh mu’ir
Akad dianggap sah apabila yang memegang (mempunyai kewenangan) barang adalah mu’ir, seperti halnya dalam hibah.
3. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Jika musta’ar tidak bisa dimanfaatkan maka akad tidak sah. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 2, hal. 266)
Para ulama menetapkan bahwa ‘ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain.
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Juga diharamkan meminjamkan Al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram. (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 266)
E. JENIS ‘ARIYAH
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
1. ‘Ariyah Mutlaq
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
2. ‘Ariyah Muqayyad
Adalah akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
F. Pembayaran Pinjaman
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah musta’ir yang tidak mau membayar utang. Bahkan kalau melalaikan pembayaran utang termasuk aniaya yang merupakan perbuatan dosa kalau dia mampu.
Rasulullah Saw bersabda, “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman dibolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari musta’ir semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (HR Ahmad)
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu haram bagi mu’ir untuk mengambilnya.
Rasulullah Saw bersabda, “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. (HR Ahmad)
G. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain, meskipun pemiliknya belum mengijinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut madzhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya.
Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang rusak. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, hal. 68)
H. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian yang berlebihan.
Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda, “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang berlebihan (lalai).
Rasulullah Saw bersabda, “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (HR. Daruquthni)[6]
SYIRKAH
Definisi Syirkah
Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Macam-macam Syirkah
Syirkah itu ada dua macam:
Pertama: Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak).
Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.
Kedua: Syirkah Transaksional (Syirkatul Uqud).
Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Cari Blog Ini