Twitter

Rangkuman Fiqih Muamalah

Author Unknown - -
Home » Rangkuman Fiqih Muamalah


MUAMALAH
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian 1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas 2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubngan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal; 1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
1.Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya. Meliputi:
al Ba’i (jual beli)
Syirkah (perkongsian)
al Mudharabah (Kerjasama)
Rahn (gadai)
kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
utang piutang
Sewa menyewa
hiwalah (pemindahan utang)
sewa menyewa (ijarah)
upah
syuf’ah (gugatan)
Qiradh (memberi modal)
Ji’alah (sayembara)
Ariyah (pinjam meminjam)
Wadi’ah (titipan)
Musaraqah
Muzara’ah dan mukhabarah
Pinjam meminjam
Riba
Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
ihyaulmawat
wakalah
NB :Salah satu buku yang cukup lengkap membahas tentang Fiqh Muamalah tersebut dan juga harganya terjangkau adalah buku karya Prof. DR. H. Rachmat Syafi’ie, MA. dengan judul Fiqh Muamalah. Cukup bagus untuk memulai memahami fiqh muamalah
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian 1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas 2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubngan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal; 1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
1.Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya. Meliputi:
al Ba’i (jual beli)
Syirkah (perkongsian)
al Mudharabah (Kerjasama)
Rahn (gadai)
kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
utang piutang
Sewa menyewa
hiwalah (pemindahan utang)
sewa menyewa (ijarah)
upah
syuf’ah (gugatan)
Qiradh (memberi modal)
Ji’alah (sayembara)
Ariyah (pinjam meminjam)
Wadi’ah (titipan)
Musaraqah
Muzara’ah dan mukhabarah
Pinjam meminjam
Riba
Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
ihyaulmawat
wakalah
NB :Salah satu buku yang cukup lengkap membahas tentang Fiqh Muamalah tersebut dan juga harganya terjangkau adalah buku karya Prof. DR. H. Rachmat Syafi’ie, MA. dengan judul Fiqh Muamalah. Cukup bagus untuk memulai memahami fiqh muamalah
JUAL BELI
Pengertian
Etimologi : Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain
Terminologi:
menurut ulama hanafiyah : pertukaran harta dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
Dasar Syara’ :
Q.S. Al Baqarah ayat 275
Q.S. An Nisa’ ayat 29
Rukun Jual Beli:
1. Penjual
2. Pembeli
3. Sighat (ijab Qabul)(nb: perlu pemahaman ulang sebagaimana yang dibahas oleh ulama kontemporer)
4. Ma’qud ‘alaih (objek yang diperjualbelikan)
Syarat Jual Beli:
Meliputi; Syarat para pelaku(orang yang berakad), Syarat dalam akad,Syarat tempat akad, Syarat Ma’qud ‘Alaih, syarat sahnya akad.
Jual beli Terlarang
Diantara bentuk jual beli yang terlarang :
1. Jual beli yang jelas dilarang
- barang najis, sperti khamr, bangkai, babi, patung(mengenai patung, pada zaman ini ada perbedaan pendapat)
- Barang yang tidak najis seperti ASI (Imam hanafi melarang sementara Imam malik dan Syafi’ie membolehkan, tapi dalam hal ini perlu diingat pula mengenai status hukum anak sepersusuan atau radha’ah)
2. Dilarang karena Riba
3. Dilarang karena samar-samar
Kesamaran dapat terjadi pada barangnya, besarnya harga, masa pembayarannya atau kesamaran penyerahan barang yang diperjualbelikan. Misalnya:
- Jual beli yang belum terjadi seperti buah-buahan yang belum tampak baiknya.
- jual beli anak hewan dalam kandungan induknya
- air susu binatang yang masih dalam teteknya
- air pejantan binatang
4. Jual beli bersyarat. Misalnya seorang penjual berkata:” Sya menjual baju saya kepadamu, dengan syarat saudara juga menjual milik saudara kepada saya.” jawab pembeli, ” ya saya membeli baju saudara dengan syarat saya menjual baju saya ini kepada suadara.
5. dilarang karena menipu, atau mengganggu gerakan pasar.
6. Dilarang karena dilaksanakan pada waktu ibadah,yaitu shalat jumat berdasarkan Q.S. Al Jumu’ah ayat 9.
7. Dilarang karena digunakan untuk berbuat maksiat, jual beli alat-alat perjudian, patung untuk pemujaan dan alat-alat lain yang membawa kepada kemaksiatan.
عن جابر عبدالله ز ض انه سمع رسولالله صلعم يقولوا عام الفتح وهو بمكة إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والمبتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسولالله اريت شحوم الميتة فإنها يطلى بها السفن ويدهن بها الجلود ويستسبح بها الناس فقال لا هو حرام ثم قال رسولال الله صلعم عند ذلك قاتل الله اليهود إن الله لما حرم شحو مها جملوه ثم باعوه فأكلوا ثمنه (رواه البخارى )
عن عبد الله بن عمر ر ض ان رسو ل الله صلعم نهى عن بيع الثمرى حتى يبدو صلاحها
(رواه البخارى )
عن جابر بن عبد الله ر ض عن النبى صلعم نهى عن بيع الثمرى سنين
(رواه النسائ)
عن أبى سعيد الخدرى قال نهى رسو ل الله صلعم عن شراء ما فى بطون الأنعام حتى تضع و عما فى ضروعها
(رواه ابن ماجه)
اخبرني أبو الزبير انه سمع رسول الله يقول نهى رسو ل الله صلعم عن بيع ضراب الجمل
( رواه المسلم)
نهى رسو ل الله صلعم عن بيع الغرار (رواه البخارى
HUTANG PIUTANG
Rukun :
1. Sighot
2. Orang yang menghutangkan
3. orang yang menghutang
4. Barang yang dihutang
قال النبى صلى الله عليه و سلم :والله فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه ( Dan Allah Akan menolong hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.)
Dan wajib bagi orang yang menghutang untuk mengembalikan yang dihutanngya dan tidak diperbolehkan bagi orang yang menghutangkan untuk mensyaratkan bagi penghutang untuk mengembalikan hutang lebih besar dari nilai yang dihutangnya.
وأحلّ الله البيع و حرّم الربى ( AL Baqarah 275). Akan tetapi jika tambahan saat mengembalikan hutang karena kerelaan orang yang menghutang bukan sebagai syarat dari orang yang menghutangi maka diperbolehkan.
SEWA MENYEWA
Yaitu suatau akad atas manfaat sebagaipengganti yang jelas dengan syarat-syarat tertentu.
Rukun:
- Dua pihak yang berakad( Penyewa dan yang menyewakan)
- Barang yang disewakan (bermanfaat)
Syarat sah;
- kedua belah pihak mengetahui apa yang dibicarakan.
- kedua belah oihak mengetahu barang yang disewakan.
Dan tidak membatalkan akad ijarah seandainya salah satu diantaranya meninggal, posisi berubah pada pewaris.
AL QIRODH
Yaitu pemberian modal dari seseorang kepada orang lain untuk dijadikan modal usaha dan untungya dibagi diantara mereka yang sesuai kesepakatan dari keduanya atau ketiganya dst.
Rukun:
1. Modal Pokok
2. Pemilik harta
3. Pekerja
4. Pekerjaannya
5. Laba
6. Ijab Qobul
Ada sebagian orang yang memiliki harta yang cukup banyak, bisa jadi karena mendapat warisan dan lainnya, akan tetapi dia tidak berkemampuan untuk mengembangkan harta tersebut. Sedangkan disisi lain ada seseorang yang tidak memiliki harta akan tetapi mampu mengembangkan harta. oleh karena itu ISlam membolehkan diantara keduanya unutk saling bekerjasama dengan tolong menolong. Sebagaimana firmaNya dalam surat ALMaidah ayat 2: ” Tolong menlonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
ARIYAH PINJAM MEMINJAM
Yaitu memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain tanpa memiliki barang tersebut.
Rukun:
- Orang yang meminjam
- Orang yang meminjami.
Syarat keduanya berakal dan mukallaf
- Barang yng dipinjamkan
Barangnya bermanfaat dan tidak rusak manfaatnya setelah digunakan.
Ex. Gunting, palu, Cangkul, dll.
- Adil

AL -IJAARAH (Sewa Menyewa)
Yaitu suatau akad atas manfaat sebagaipengganti yang jelas dengan syarat-syarat tertentu.

Rukun:
- Dua pihak yang berakad( Penyewa dan yang menyewakan)
- Barang yang disewakan (bermanfaat)

Syarat sah;
- kedua belah pihak mengetahui apa yang dibicarakan.
- kedua belah oihak mengetahu barang yang disewakan.

Dan tidak membatalkan akad ijarah seandainya salah satu diantaranya meninggal, posisi berubah pada pewaris.[2]
AL ‘ARIYAH (pinjam Meminjam)
Yaitu memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain tanpa memiliki barang tersebut.
Rukun:
- Orang yang meminjam
- Orang yang meminjami.
Syarat keduanya berakal dan mukallaf
- Barang yng dipinjamkan
Barangnya bermanfaat dan tidak rusak manfaatnya setelah digunakan.
Ex. Gunting, palu, Cangkul, dll.
- Adil[3]


AL-BAI’ (JUAL BELI)
A.                Pengertian
Menurut bahasa adalah al tijaroh, dan al-muadalah, sedangkan menurut  istilah adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak yang satu menerima yang satu menjadi penerima sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
B.                 Rukun dan syarat jual-beli
1.    Akad ijab kabul
2.    Orang-orang yang berakad (pemeli dan penjual)
3.    Ma’kud alaih (objek akad)
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pemeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan sebab ijab kaul dilakukanmenunjukkan kerelaan, dan dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mampu, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh dengan surat menyuratyang mengandung arti ija qobul.
C.                 Syarat-syarat sah ijab qobul:
1.    Jangan ada yang memisahkan, pembeli  jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab qoul.
2.    Jangan diselingi kata-kata lain antara ijab dan qobul.
3.    Beragama islam
Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut:
1.    Suci atau disucikan, sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dll
2.    Memberi manfa’at menurut syara’, maka dilarang jual beli barang yang tidak ada manfa’atnya.
3.    Jangan ditaklikkan, yaitu digantungkan, misal jika ayahku pergi kujual motorku ini.
4.    Tidak dibatasi waktunya, misal, kujual motor ini kepada tuan selama satu tahun.
5.    Dapat diserahkan cepat maupun lambat.
6.    Milik sendiri
7.    Diketahui(dilihat)
D.                Macam-macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah dan yang batal karena hukum, dari segi obyek jual beli dan pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang diperjualbelikan yang dikemukakan oleh imam taqiudin jual beli dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jual beli bnda yang kelihatan, jual beli yang sifat-sifatnya di sebutkan dalam janji(pesanan) dan jual beli benda yang tidak kelihatan(jual beli yang dilarang).
PEMINDAHAN HUTANG (HIWALAH)
  1. Pengertian
Menurut bahasa adalah al intiqol dan al tahwil artinya memindahkan atau mengoperkan, sedangkan menurut istilah para ulama’ mendefinisikannya berbeda-beda, seperti pendapat syihab al-din al-qolyubi yang menyatakan bahwa hiwalah adalah akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada orang lain.
  1. Rukun dan syarat hiwalah
Menurut syafi’iyah rukun hiwalah ada empat yaitu:
1.      Muhil yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2.      Muhtal yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil.
3.      Muhal alaih yaitu yang menerima hiwalah.
4.      Sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,”aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada kamu. Dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya.”aku terima hiwalah engkau”[4]
  1. Beban muhil setelah hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat jumhur.

PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)
A.  Pengertian
Menurut bahasa gadai(rahn) berarti al tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan.sedangkan menurut istilah adalah  menjadikan hartabenda sebagai jaminan utang, dalam kata lain gadai adalah menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan ituseluruh atau sebagian utang di terima.[5]
B.     Dasar hukum rahn
Firman alloh SWT yang artinya “apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu(al-baqoroh:283)
Diriwayatkan oleh ahmad, bukhari, nasai, dan ibnu majah dari anas r.a ia berkata”rasullulloh saw merungguhkan baju besi kepada seorang yahudidi madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi.”
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa agama islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non muslimdalam bidang muamalah, seorang muslim tetap wajib membayar utang meskipun kepada orang non muslim.
C.   Rukun dan syarat gadai
1.      Akad ijab dan qobul, seperti seseorang berkata”aku gadaikan mejaku ini dengan harga 10.000,00” dan satu lagi menjawab”aku terima gadai mejamu seharga 10.000,00, atau bisa pula dengan kata-kata, surat, isyarat, dll.
2.      Aqoid, yaitu yang menggadaikan(rahin)dan yang menerima gadai(murtahin), adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasawuf yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat yang dijadikan jaminan adalah benda dalam keadaan tidak rusak sebelum janji utang itu dibayar.
4.      Ada utang, disyaratkan keadaan utang tetap.
  1. Pengambilan manfa’at barang gadai
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil sesuatu manfa’at dari barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut imam ahmad, ishak, al-laits, dan al-hasan jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai diatas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan, pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu berupa hewan dan harus memberikan bensin apabila barang tersebut berupa kendaraan.
  1. Resiko kerusakan marhum
Bila marhum hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya tersebut mrtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bia tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawab murtahin.
  1. Penyelesaian gadai
Apabila pada waktu pembayaran telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya hak murtahin adalah menjual marhun.pembeline bisa murtahin sendiri atau oranglain tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya dengan akibat apabila harga penjualan marhum lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin, dan sebliknya harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
‘ARIYAH(PINJAMAN)
Ariyah (Pinjaman) yaitu meminjamkan suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma. Para fuqaha’ mendefinisikan ‘ariyah sebagai “pembolehan oleh pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa ganti (imbalan)”.
Ada 2 pengertian ‘ariyah :
1.      ‘Ariyah menurut bahasa diambil dari kata ‘aara yang berarti datang dan pergi. Menurut pendapat lain, ‘ariyah berasal dari kata ta’aawur atau attanaawulu awittanaawubu yang artinya saling menukar dan mengganti yakni dalam hal pinjam meminjam.
2.      ‘Ariyah menurut syara’ ada beberapa pendapat :
- Menurut Hanafiyah : “Pemilikan manfaat secara cuma-cuma”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
- Menurut Malikiyah : “Pemilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 270)
- Menurut Syafi’iyah : “Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 271)
Jadi, yang dimaksud ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu bukan ‘ariyah.
D. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
RUKUN ‘ARIYAH
Secara umum, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada 4, yaitu :
1. Mu’ir (yang meminjamkan)
2. Musta’ir (peminjam)
3. Mu’ar (barang yang dipinjam)
4. Shighat akad (ijab Kabul)


Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘AMALA-YU’AMILI-MU’AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian:
1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas
2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris Ahmad) atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan” (Rasyid Ridho) “(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Pembagian muamalah:
a.    Mu’awadlah  maliyah (hukum kebendaan)
b.    Munakahat (hukum perkawinan)
c.    Muhasanat(hukum acara)
d.   Amanat dan A’riyah (pinjaman)
e.    Tirkah(harta peninggalan)
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;
1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
2. Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya.
Meliputi:
- al Ba’i (jual beli)
- Syirkah (perkongsian)
- al Mudharabah (Kerjasama)
- Rahn (gadai)
- kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
- utang piutang
- Sewa menyewa
- hiwalah (pemindahan utang)
- sewa menyewa (ijarah)
- upah
- syuf’ah (gugatan)
- Qiradh (memberi modal)
- Ji’alah (sayembara)
- Ariyah (pinjam meminjam)
- Wadi’ah (titipan)
- Musaraqah
- Muzara’ah dan mukhabarah
- Pinjam meminjam
- Riba
- Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
- ihyaulmawat
- wakalah[1]

SYARAT ‘ARIYAH
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sbb :
1. Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang gila dan anak kecil tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut). (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 264)
2. Pemegangan (wewenang) barang oleh mu’ir
Akad dianggap sah apabila yang memegang (mempunyai kewenangan) barang adalah mu’ir, seperti halnya dalam hibah.
3. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Jika musta’ar tidak bisa dimanfaatkan maka akad tidak sah. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 2, hal. 266)
Para ulama menetapkan bahwa ‘ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain.
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Juga diharamkan meminjamkan Al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram. (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 266)
E. JENIS ‘ARIYAH
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
1. ‘Ariyah Mutlaq
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
2. ‘Ariyah Muqayyad
Adalah akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
F. Pembayaran Pinjaman
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah musta’ir yang tidak mau membayar utang. Bahkan kalau melalaikan pembayaran utang termasuk aniaya yang merupakan perbuatan dosa kalau dia mampu.
Rasulullah Saw bersabda, “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman dibolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari musta’ir semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (HR Ahmad)
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu haram bagi mu’ir untuk mengambilnya.
Rasulullah Saw bersabda, “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. (HR Ahmad)
G. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain, meskipun pemiliknya belum mengijinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut madzhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya.
Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang rusak. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, hal. 68)
H. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian yang berlebihan.
Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda, “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang berlebihan (lalai).
Rasulullah Saw bersabda, “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (HR. Daruquthni)[6]
SYIRKAH
Definisi Syirkah
Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada.
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Macam-macam Syirkah
Syirkah itu ada dua macam:
Pertama: Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak).
Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.
Kedua: Syirkah Transaksional (Syirkatul Uqud).
Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Cari Blog Ini